PRAGMATISME PENDIDIKAN INDONESIA

07.35 Unknown 0 Comments

Ketika saya menulis artikel ini saya sedang berada di arena Rapat Koordinasi Bidang Advokasi & Seminar Pendidikan Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Muhammadiyah Jawa Tengah. Kegiatan yang mengangkat tema : "Pendidikan Indonesia antara Ideal dan Pragmatis" ini mengusik hati dan pemikiran saya.

Pragmatis, sebuah kata yang masih terasa "ngambang" dalam pemahaman saya. Hingga akhirnya setelah saya searching apa itu pragmatis dan pragmatisme, saya menemukan sedikit pencerahan.

Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis. Dengan demikian, bukan kebenaran objektif dari pengetahuan yang penting melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan kepada individu-individu.
( Wikipedia - Indonesia )
Berbicara pendidikan Indonesia , banyak sekali pihak yang mengeluhkan dunia pendidikan Indonesia semakin semrawut dan ruwet. Mulai dari Ujian Nasional yang menjadi momok menakutkan bagi siswa, kurikulum yang tidak efisien penerapannya karena sering berganti-ganti, sampai pada kecurangan dan kebohongan oleh siswa yang difasilitasi pihak sekolah sendiri.

Kasus-kasus kecurangan dan kebohongan tersebut mencerminkan mental bangsa yang semakin memprihatinkan. Orientasi pendidikan yang menekankan pada tingkat kelulusan, tingginya nilai akademik, dan kualitas sekolah dengan embel-embel RSBI dan SBI membuat bangsa kita terancam tidak mempunyai generasi yang berkualitas ( untungnya sudah dihapus ). Minimnya pendidikan karakter di Indonesia juga mengakibatkan bangsa ini berjalan tanpa ideologi dengan hilangnya nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang dimiliki tiap-tiap daerah.

Pengaruh kapitalisme dan rendahnya pendidikan karakter yang masuk di dunia pendidikan mengubah masa depan dunia pendidikan hanya menjadi sebuah proses alat reproduksi produksi, di mana hilangnya mental bangsa dan hanya fokus pada penekanan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pasar (kapitalisme). Pragmatisme pendidikan ini terlihat dari kasus-kasus kecurangan di atas, di mana murid maupun guru berlomba-lomba untuk (hanya) lulus dan dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi atau hanya mendapat pekerjaan.

Institusi pendidikan dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi dewasa ini lebih menekankan bagaimana menciptakan alat produksi (baca: tenaga kerja) dan menyiapkan calon tenaga kerja (proses reproduksi) untuk kebutuhan kapitalis yang hanya mengejar keuntungan dengan pengoptimalan sumber daya alam yang terbatas. Globalisasi di dunia pendidikan di Indonesia membuat negara ini seakan tidak mempunyai kemampuan dan sekuritas untuk melindungi warga negaranya, karena tidak memiliki aspek strategi dan lemahnya legitimasi yang ada.

Masa depan generasi yang akan datang ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia yang ditentukan oleh kualitas pendidikan, dan hal ini mutlak menjadi peran negara. Konstitusi mengamanahkan kepada negara untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa” dan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Amanat pasal 31 UUD 1945 yang mengharuskan negara wajib membiayai pendidikan dasar bagi seluruh warga negara dan tujuan besar pendidikan nasional yang tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pemerintah juga memiliki tanggung jawab dalam UU Sisdiknas pasal 12 ayat 1 poin d yang menyebutkan bahwa, “Peserta didik mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya.”

Kemudian hal tersebut tidak sejalan dengan fakta dari data Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2010 yang mengungkapkan, bahwa jumlah anak Indonesia yang terancam putus sekolah saat ini mencapai 13 juta yang terdiri dari usia 7 sampai 15 tahun. Dan hal ini tidak sejalan dengan program wajib belajar 9 tahun yang digalakkan pemerintah karena usia anak yang putus sekolah adalah usia anak Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kemudian berdasarkan data Human Development Indexs (HDI) tahun 2009, Indonesia menempati urutan ke-111 dari 180 negara mengenai standar pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan, dan standar hidup untuk semua negara di dunia.

Belajar dari Taman Siswa
Taman Siswa adalah badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat yang menggunakan pendidikan dalam arti luas untuk mencapai cita-citanya. Bagi Taman Siswa, pendidikan bukanlah tujuan tetapi media untuk mencapai tujuan perjuangan, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka lahir dan batinnya. Merdeka lahiriah, artinya tidak dijajah secara fisik, ekonomi, politik, dll. Sedangkan merdeka secara batiniah adalah mampu mengendalikan keadaan.

Konsepsi dasar Taman Siswa untuk mencapai cita-citanya adalah kebudayaan, kebangsaan, pendidikan, sistem kemasyarakatan, dan sistem ekonomi kerakyatan. Pokok pikirannya adalah bahwa bangsa ini tidak boleh kehilangan jati diri, menjaga keutuhan dalam berbangsa, menjalankan pendidikan yang baik untuk mencapai kemajuan, terjadinya harmonisasi sosial di dalam bermasyarakat, serta menghindari terjadinya kesenjangan ekonomi yang terlalu tajam antarwarga negara.
Pendidikan Taman Siswa mempunyai ciri khas Pancadarma, yaitu kodrat alam (memperhatikan sunatullah), kebudayaan, kemerdekaan (memperhatikan potensi dan minat masing-masing individu dan kelompok), kebangsaan (berorientasi pada keutuhan bangsa dengan berbagai ragam suku), dan kemanusiaan (menjunjung harkat dan martabat setiap orang).

Sistem Among menjadi dasar pendidikan Taman Siswa, yaitu suatu sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan. Dalam sistem ini setiap pendidik harus meluangkan waktu sebanyak 24 jam setiap harinya untuk memberikan pelayanan kepada anak didik sebagaimana orangtua yang memberikan pelayanan kepada anaknya.

Melihat konsep Taman Siswa dengan realitas sekarang telah terjadi disorientasi pendidikan yang berawal dari proses kapitalisme membuat pelaku pendidikan, mulai dari murid, orangtua, maupun guru dan pemangku kewenangan, berpikiran sempit, menjadikan pendidikan sebagai pintu masuk mendapat pekerjaan. Yang terjadi kemudian tersedianya lumbung-lumbung tenaga kerja bukan lumbung intelektualitas di satu sisi dan personalitas di sisi yang lain.
Lovalia : Berbagai sumber

You Might Also Like

0 komentar: